Refleksi setelah Lulus dari Jurusan Arsitektur


Sumber: istockphoto.com

Tulisan ini merupakan renungan, setelah sepuluh tahun yang lalu penulis lulus kuliah dari jurusan Arsitektur.

– –

Paska kuliah, beda. Inilah yang ingin penulis katakan dalam tulisan ini. Ternyata bekal kuliah saja tidak cukup untuk menghadapi kehidupan setelah lulus kuliah.

Begitu banyak tantangan yang dihadapi bagi para lulusan arsitektur. Bukan hanya masyarakat Indonesia dengan beragam permasalahan sosialnya, namun juga kehidupan kota dengan segala dinamikanya.

Hal utama yang diingat penulis saat kuliah yaitu ilmu arsitektur bukan hanya berbicara tentang bangunan. Lebih dari itu ilmu arsitektur juga berbicara mengenai seni bangunan.

Gambar 1. Ilustrasi Gradasi Warna pada Mata Kuliah Seni Rupa. Sumber: Pixabay.com

Dasarnya yaitu berasal dari seorang tokoh klasik arsitektur bernama Vitruvius yang mengatakan bahwa arsitektur itu terdiri dari tiga unsur yaitu ‘Kekokohan’ (Firmitas), ‘Fungsi’ (Utilitas) dan ‘Keindahan’ (Venusitas).

Maka dari itu pelajaran mengenai seni juga diperhatikan di bidang arsitektur. Hal ini dapat dilihat pada tahun pertama perkuliahan di jurusan arsitektur yang memiliki mata kuliah dasar ‘Seni Rupa’.

Namun ketika kita menempatkan hal tersebut dalam konteks setelah lulus kuliah, bagaimanakah menyinergikannya? Apakah asitektur sebagai seni merupakan sesuatu yang tepat?

Gambar 2. Menara BNI 46: Sebuah Karya Arsitektur Bernilai Seni. Sumber: wisma46.com

Mungkin ketika sebagian teman-teman bekerja di ranah konsultan, hal tersebut merupakan sesuatu yang tepat. Masih banyak Konsultan Arsitektur yang memperhatikan aspek seni dalam membuat desain bangunan.

Namun dari sudut pandang penulis di ruang pemerintahan saat ini, ilmu arsitektur lebih cenderung kepada peraturan bangunan semata. Masyarakat lebih mengenal arsitektur hanya sebagai ‘Gambar Arsitektur untuk Perizinan Bangunan.

Walaupun demikian bukan berarti peraturan tidak penting. Justru keilmuan arsitektur pada suatu institusi negara perlu memiliki payung hukum berupa peraturan.

Bahkan keilmuan arsitektur yang dipelajari sejak masa pra kemerdekaan di Indonesia, baru disahkan undang-undangnya pada tahun 2017, yaitu UU No. 06 Tahun 2017 tentang Arsitek. Demikian realitasnya!

Apalagi saat ini Indonesia merupakan Negara berkembang dengan permasalahan ekonomi yang belum stabil. Masih banyak kesenjangan sosial yang terjadi sehingga sebagian besar masyarakat belum dapat menikmati hasil pembangunan, terutama kalangan menengah ke bawah.

Gambar 3. Pemukiman Liar di Sepanjang Jalan Inspeksi Kanal Banjir Barat (KBB), Tanah Abang, Jakarta. Sumber: megapolitan.kompas.com

Bagaimana mungkin dapat berpikir ke arah pengembangan seni/ budaya jika kebutuhan pokok seperti makan saja belum dapat terpenuhi. Pasalnya saat ini para Negara majulah yang sedang memimpin peradaban dengan berbagai kemajuan yang diraihnya, dari mulai ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya, termasuk arsitektur.

Jadi, tantangan setelah lulus kuliah bukan hanya perkara merealisasikan ide-ide arsitektur yang pernah dipelajari di kampus. Namun juga, bagaimana kita menempatkan konteks arsitektur pada Negara Indonesia.

Ada sebuah penghargaan tertinggi bagi para insan arsitektur yang disebut dengan Prizker Prize. Bila menengok ke 50 tahun belakangan penghargaan tersebut hanya didominasi oleh Negara dari Benua Amerika dan Eropa, serta beberapa dari Asia.

Bersyukurlah sepuluh tahun belakangan ini terdapat lima arsitek dari Benua Asia memperoleh penghargaan tersebut. Tapi bukan Indonesia, kawan.

Mungkin sudah saatnya bangsa Indonesia sebagai bagian dari Asia bangkit dari era keterpurukan, sebagaimana bangsa Eropa pernah mengalami abad kegelapan (Dark Ages) pada masa silam.

Marilah selaku insan arsitektur kita tetap menjaga motivasi untuk berkarya di negeri ini!

Penulis menyadari adanya kekurangan pada tulisan ini. Maka dari itu kritik dan saran amat penulis harapkan dari para insan arsitektur. Terimakasih.

Leave a comment